Selasa, 18 Mei 2010

Budaya Jepang


Ikebana

Ikébana (生花 ?) adalah seni merangkai bunga yang memanfaatkan berbagai jenis bunga, rumput-rumputan dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya. Ikebana berasal dari Jepang tapi telah meluas ke seluruh dunia. Dalam bahasa Jepang, Ikebana juga dikenal dengan istilah kadō (華道 ?, ka, bunga; do, jalan kehidupan) yang lebih menekankan pada aspek seni untuk mencapai kesempurnaan dalam merangkai bunga.

Di dalam Ikebana terdapat berbagai macam aliran yang masing-masing mempunyai cara tersendiri dalam merangkai berbagai jenis bunga. Aliran tertentu mengharuskan orang melihat rangkaian bunga tepat dari bagian depan, sedangkan aliran lain mengharuskan orang melihat rangkaian bunga yang berbentuk tiga dimensi sebagai benda dua dimensi saja.

Pada umumnya, bunga yang dirangkai dengan teknik merangkai dari Barat (flower arrangement) terlihat sama indahnya dari berbagai sudut pandang secara tiga dimensi dan tidak perlu harus dilihat dari bagian depan.

Berbeda dengan seni merangkai bunga dari Barat yang bersifat dekoratif, Ikebana berusaha menciptakan harmoni dalam bentuk linier, ritme dan warna. Ikebana tidak mementingkan keindahan bunga tapi pada aspek pengaturannya menurut garis linier. Bentuk-bentuk dalam Ikebana didasarkan tiga titik yang mewakili langit, bumi, dan manusia.


Asal-usul

Asal-usul Ikebana adalah tradisi mempersembahkan bunga di kuil Buddha di Jepang. Ikebana berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Buddha di Jepang di abad ke-6.

Ada penelitian yang mengatakan Ikebana berasal dari tradisi animisme orang zaman kuno yang menyusun kembali tanaman yang sudah dipetik dari alam sesuai dengan keinginannya. Di zaman kuno, manusia merasakan keanehan yang terdapat pada tanaman dan mengganggapnya sebagai suatu misteri. Berbeda dengan binatang yang langsung mati setelah diburu, bunga atau bagian tanaman yang sudah dipetik dari alam bila diperlakukan dengan benar tetap mempertahankan kesegaran sama seperti sewaktu masih berada di alam. Manusia yang senang melihat "keanehan" yang terjadi kemudian memasukkan bunga atau bagian tanaman yang sudah dipotong ke dalam vas bunga. Manusia zaman kuno lalu merasa puas karena menganggap dirinya sudah berhasil mengendalikan peristiwa alam yang sebelumnya tidak bisa dikendalikan oleh manusia.

Ketakjuban manusia terhadap tumbuhan yang dianggap mempunyai kekuatan aneh juga berkaitan dengan pemujaan tanaman yang selalu berdaun hijau sepanjang tahun (evergreen). Manusia zaman dulu yang tinggal di negeri empat musim percaya bahwa kekuatan misterius para dewa menyebabkan tanaman selalu berdaun hijau sepanjang tahun dan tidak merontokkan daunnya di musim dingin.

Sejarah seni merangkai bunga

Menurut literatur klasik seperti Makura no sōshi yang bercerita tentang adat istiadat Jepang, tradisi mengagumi bunga dengan cara memotong tangkai dari sekuntum bunga sudah dimulai sejak zaman Heian. Pada mulanya, bunga diletakkan di dalam wadah yang sudah ada sebelumnya dan kemudian baru dibuatkan wadah khusus untuk vas bunga.

Ikebana dalam bentuk seperti sekarang ini baru dimulai para biksu di kuil Chōhōji Kyoto pada pertengahan zaman Muromachi. Para biksu kuil Chōhōji secara turun temurun tinggal di kamar (bō) di pinggir kolam (ike), sehingga aliran baru Ikebana yang dimulainya disebut aliran Ikenobō.

Di pertengahan zaman Edo, berbagai kepala aliran (Iemoto) dan guru besar kepala (Sōke) menciptakan seni merangkai bunga gaya Tachibana atau Rikka yang menjadi mapan pada masa itu.

Di pertengahan zaman Edo hingga akhir zaman Edo, Ikebana yang dulunya hanya bisa dinikmati kalangan bangsawan atau kaum samurai secara berangsur-angsur mulai disenangi rakyat kecil. Pada zaman itu, Ikebana gaya Shōka (seika) menjadi populer di kalangan rakyat.

Aliran Mishōryū, aliran Koryū, aliran Enshūryū dan aliran Senkeiryū melahirkan banyak guru besar dan ahli Ikebana yang memiliki teknik tingkat tinggi yang kemudian memisahkan diri membentuk banyak aliran yang lain.

Ikebana mulai diperkenalkan ke Eropa pada akhir zaman Edo hingga masa awal era Meiji ketika minat orang Eropa terhadap kebudayaan Jepang sedang mencapai puncaknya. Ikebana dianggap mempengaruhi seni merangkai bunga Eropa yang mencontoh Ikebana dalam line arrangement.

Sejak zaman Edo lahir banyak sekali aliran yang merupakan pecahan dari aliran Ikenobō. Pada bulan Maret 2005 tercatat 392 aliran Ikebana yang masuk ke dalam daftar Asosiasi Seni Ikebana Jepang.

Gaya Rangkaian dalam Ikebana

Ada 3 gaya dalam Ikebana, yaitu : rikka, shoka dan jiyuka.

Rikka (Standing Flower)adalah ikebana gaya tradisional yang banyak dipergunakan untuk perayaan keagamaan. Gaya ini menampilkan keindahan landscape tanaman. Gaya ini berkembang sekitar awal abad 16. Ada 7 keutamaan dalam rangkaian gaya Rikka, yaitu : shin, shin-kakushi, soe, soe-uke, mikoshi, nagashi dan maeoki

Shoka adalah rangkaian ikebana yang tidak terlalu formal tapi masih tradisional. Gaya ini difokuskan pada bentuk asli tumbuhan. Ada 3 unsur utama dalam gaya Shoka yaitu : shin, soe, dan tai. Sesuai dengan perkembangan zaman, sesudah Restorasi Meiji 1868, gaya ini lebih berkembang karena adanya pengaruh Eropa Nageire arti bebasnya “dimasukan” (rangkaian dengan vas tinggi dengan rangkaian hampir bebas)dan Moribana. rangkaian menggunakan wadah rendah dan mulut lebar). Lalu pada tahun 1977 lahir gaya baru yaitu Shoka Shimputai, yang lebih modern, terdiri dari 2 unsur utama yaitu shu dan yo, dan unsur pelengkapnya, ashirai.

Jiyuka adalah rangkaian Ikebana bersifat bebas dimana rangkaiannya berdasarkan kreativitas serta imaginasi. Gaya ini berkembang setelah perang dunia ke-2. Dalam rangkaian ini kita dapat mempergunakan kawat,logam dan batu secara menonjol.

Perlengkapan

Hampir sama dengan peralatan merangkai bunga gaya eropa, dalam Ikebana kita memerlukan kawat dari berbagai ukuran (ketebalan kawat), gunting (gunting khusus ikebana), Floral tape (warna hijau dan coklat),selotip. Juga tang bunga (utk mematahkan), kenzan yaitu alas berduri tajam tempat mencucukan bunga, juga semacam pipet besar untuk mengambil air yang lama di vas ketika kita hendak mengganti airnya, batu-batuan kecil juga bisa dipergunakan bila kita mempergunakan vas/wadah/suiban tinggi.

Sabtu, 15 Mei 2010

Kimono


KIMONO

Kimono adalah pakaian tradisional Jepang. Arti harfiah kimono adalah baju atau sesuatu yang dihttp://www.blogger.com/img/blank.gifkenakan (ki berarti pakai, dan mono berarti barang).

Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T", mirip mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang disebut obi dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat di bagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalah zōri atau geta.

Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode.[1] Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakan furisode untuk menghadiri seijin shiki. Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono.[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri dari furisode dan uchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode untuk pengantin wanita berbeda dari furisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiromuku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.

Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai wafuku (和服 ?, pakaian Jepang). Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah gofuku (呉服 ?). Istilah gofuku mulanya dipakai untuk menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di Jepang dari daratan Cina.


Kimono wanita

Kurotomesode dengan 5 buah lambang keluarga

Pemilihan jenis kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.

* Kurotomesode

Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah menikah. Bila berwarna hitam, kimono jenis ini disebut kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam). Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon) di tiga tempat: 1 di punggung, 2 di dada bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode adalah motif indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki) depan dan belakang. Kurotomesode dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.

Gadis mengenakan furisode

* Irotomesode

Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut irotomesode (arti harfiah: tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara, pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono jenis irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.

* Furisode

Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda, atau hatsumode. Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ishō termasuk salah satu jenis furisode.

* Homongi

Hōmon-gi (訪問着 ?, arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru.[3]

* Iromuji

Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.

* Tsukesage

Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya setingkat dibawah homongi. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.[3]

* Komon

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-kecil yang berulang.[3] Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.

* Tsumugi

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar.[3] Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.

* Yukata

Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas.

Kimono pria

Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.

* Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan hakama dan haori

Bagian punggung montsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional. Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.

* Kimono santai kinagashi

Pria mengenakan kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang keluarga.


Sejarah

Zaman Jomon dan zaman Yayoi
Pakaian wanita pada sekitar tahun 1870

Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman Jomon ditemukan haniwa. Pakaian atas yang dikenakan haniwa disebut kantoi (貫頭衣 ?).

Dalam Gishiwajinden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakan kantoi. Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan zaman dulu untuk Jepang) "selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat mengenakan kain sutra.

Zaman Kofun

Pakaian zaman Kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.

Pada zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoi dibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah:

* Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)
* Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

Zaman Nara

Aristokrat zaman Asuka bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (kan-i jūnikai). Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan penutup kepala (kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho Ritsuryo dimuat peraturan tentang busana resmi, busana pegawai istana, dan pakaian seragam dalam istana. Pakaian formal yang dikenakan pejabat sipil (bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak. Pejabat militer mengenakan pakaian formal yang tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar pemakainya bebas bergerak. Busana dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh budaya Dinasti Tang ikut mempopulerkan baju berlengan sempit yang disebut kosode untuk dikenakan sebagai pakaian dalam.

Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kalau sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.

Zaman Heian

Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata busana zaman Heian. Wanita zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut jūnihitoe. Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak praktis.

Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:

* Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
* I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)
* Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).

Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu (狩衣 ?, arti harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.

Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan samurai, dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol status bangsawan istana dijadikan simbol status kalangan samurai.

Zaman Kamakura dan zaman Muromachi

Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi, hitatare merupakan pakaian resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut suō (素襖 ?), yakni sejenis hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang keluarga dalam ukuran besar di delapan tempat.

Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo (裳 ?) makin pendek sebelum diganti dengan hakama. Setelan mo dan hakama akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model terusan, dan kemudian kimono wanita yang disebut kosode. Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di sekitar pinggang (koshimaki) dan/atau yumaki. Mantel panjang yang disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.

Awal zaman Edo

Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo adalah setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo (裃 ?). Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣 ?) dan hakama. Di kalangan wanita, kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e atau ukiyo-e mendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Pakaian orang kota pun cenderung makin mewah karena iking meniru pakaian aktor kabuki.

Kecenderungan orang kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari norma konfusianisme ingin dibatasi oleh Keshogunan Edo. Secara bertahap pemerintah keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi sebab kegagalan kenyaku-rei. Orang menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.

Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu mengenakan kimono.

Akhir zaman Edo

Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai dibuat dari benang sutra produksi dalam negeri. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei (1783-1788), Keshogunan Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari furisode populer di kalangan wanita.

Zaman Meiji dan zaman Taisho

Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain sutra. Industri pemintalan sutra didirikan di berbagai tempat di Jepang. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri pemintalan, industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu, omeshi, hingga meisen.

Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknik yuzen, yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain kimono.

Sementara itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra yang bermotif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus. Mereka mengenakan kimono dari model kain yang sudah populer sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri acara istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan mulai disukai orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Ketika pakaian Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari toko persewaan pakaian Barat.

Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan tradisional tidak menjadi terpengaruh. Orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria zaman Meiji masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.

Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer. Seragam tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho, pemerintah menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti dari andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang disebut serafuku (sailor fuku), yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan rok.

Zaman Showa

Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin fuku (seragam rakyat). Wanita dipaksa memakai monpei yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian pergelangan kaki.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, wanita Jepang mulai kembali mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.

Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya dengan mengeluarkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut yakusoku. Menurut peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte pembeli agar membeli sebanyak mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai konsumen, dan minat masyarakat terhadap kimono makin menurun. Walaupun pedagang kimono melakukan promosi besar-besaran, opini "memakai kimono itu ruwet" sudah terbentuk di tengah masyarakat Jepang.

Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam berbagai manga terbitan tahun 1970-an. Namun sekarang ini, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian di rumah, kecuali samue yang dikenakan para perajin.

Bisnis kimono

Bahan kain kimono adalah hasil dari kesenian tenun tradisional Jepang yang bernilai seni. Kimono untuk kesempatan formal hanya dibuat dari kain sutra kelas terbaik dan hanya dijahit dengan tangan (tidak memakai mesin jahit). Oleh karena itu, harga kimono sering menjadi sangat mahal. Kimono umumnya tidak pernah dijual dalam keadaan jadi, melainkan harus dipesan dan dijahit sesuai dengan ukuran badan pemakai.

Sewaktu membeli kain, tinggi badan pemakai tidak diperhitungkan. Bahan kimono dibeli dalam satu gulungan kain yang ditenun dengan sempurna tanpa cacat. Membeli kimono dimulai dengan pemilihan bahan kain kimono yang disebut tanmono (反物 ?, arti harfiah: gulungan kain dengan panjang 1 tan, atau sekitar 10,6 m). Bila kebetulan pemakai kimono bertubuh pendek dan ramping, setelah kimono selesai dijahit akan banyak bahan kimono yang tersisa. Sisa bahan kimono bisa dimanfaatkan untuk membuat aksesori pelengkap kimono, seperti tas, dompet, atau sandal.

Kain kimono dapat dibeli dengan harga lebih murah pada kesempatan obral bahan kelas dua yang disebut B-tan ichi (B反市 ?, arti harfiah: pasar kain kelas B) untuk membedakannya dari bahan kimono kelas A yang ditenun sempurna tanpa cacat. Walaupun bahan kain yang dibeli memiliki sedikit cacat, penjahit kimono yang berpengalaman dapat menyembunyikan bagian tenunan yang rusak. Setelah jadi, kimono dari pasar kain kelas B mungkin akan terlihat sama dengan kimono dari bahan sempurna.

Kimono yang dijahit dari bahan berkualitas tinggi merupakan benda warisan keluarga. Kimono bekas pakai masih mempunyai nilai jual tinggi, terutama karena ukuran kimono dapat disesuaikan dengan ukuran badan pemilik yang baru. Di Jepang bisa dijumpai toko-toko yang menjual kimono bekas pakai. Semasa Perang Dunia II, kimono pernah digunakan sebagai alat pembayaran sewaktu penduduk kota kekurangan pangan. Uangnya dipakai untuk membeli beras, telur, dan bumbu dapur seperti miso, dan gula.

Aksesori dan pelengkap

* Hakama

Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap. Celana jenis ini berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Selain dikenakan pendeta Shinto, hakama dikenakan pria dan wanita di bidang olahraga bela diri tradisional seperti kendo atau kyudo.

* Geta

Geta adalah sandal berhak dari kayu. Maiko memakai geta berhak tinggi dan tebal yang disebut pokkuri

* Kanzashi

Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.

* Obi

Obi adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan kimono

* Tabi

Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dipakai sewaktu memakai sandal.

* Waraji

Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.

* Zōri

Zōri adalah sandal tradisional yang dibuat dari kain atau anyaman.

Kamis, 06 Mei 2010

Cara Cepat Belajar Bahasa Jepang

Kamu bosan terus-menerus belajar bahasa pemrograman??? yupz… pernah ga ngerasain kepala jadi hang, perut mulez2 susah buang air besar karena terlalu lama melototin coding. Wupz itu gejala2 setrez….. stop jangan diterusin ho ho ho…. luangin waktu untuk rilex sejenak. Ambil nafas dalam2 buka YM atau FS atau apalah…. meluncur ke alam sana… truz cari teman yang bae2 yaw… ho ho ho. Nah seperti yang ak alami karena punya hobby nyari teman tuh malah nyasar smp jepang. Lha trus malah bingung dapet teman2 dari jepang karena ga isa bahasa jepang. Terpaksa de… belajar bhs jepang ho ho ho. Mungkin kamu punya pengalaman lain kenal sama orang Amrik misalnya atau malah kenalan sama orang utan wkwkwkwkw :) Nah berikut ni rahasia gila belajar bahasa jepang yang kebetulan saya temukan di beberapa sumber yang terpercaya. Selamat belajar bahasa jepang yaw… awaz jangan ketawa2 sendiri… nanti ndak dikira orang gila beneran (seperti aku pas baca pertama kali… ho ho ho)

0,1,2,3,4,5,6,7,8,9

  • 0 = zero / rei, gampang
  • 1 = ichi, ingat: hiji (sunda), siji (jawa)
  • 2 = ni, ingat: niniii… sudaaaah tuaaaaa… giginyaaaa tinggaaaal duwaaaaa…
  • 3 = san, TODO: insert-gambar-pisang-3
  • 4 = shi / yon, ingat: angka 4 nulisnya doyong ke kanan
  • 5 = go, ingat: go-cap, go-pek
  • 6 = roku, ingat: angka 6 seperti kait buat ngebuka rok :D
  • 7 = nana / sichi, ingat: nana, pacarku yang ke-7, suka mandi kembang 7 rupa, biar bisa main 7 hari 7 malam :)
  • 8 = hachi, ingat: 8 kayak lubang hidung, tempat ingus keluar kalo flu: hachi! hachi!
  • 9 = kyuu / ku, ingat: angka 9 dalam permainan kartu = kyu!
  • 10 = juu, ingat: inget gak kalo bencong disalon mau cuciin rambut kita? dia pasti bilang…. cuci dulu yuk…? dia pasti jawab lagi… jyuu…!

Senin, 03 Mei 2010

Komunitas




COSPLAY


Cosplay adalah istilah bahasa Inggris buatan Jepang (wasei-eigo) yang berasal dari gabungan kata "costume" (kostum) dan "play" (bermain). Cosplay berarti hobi mengenakan pakaian beserta aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, manhwa, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan kartun Nickelodeon. Pelaku cosplay disebut cosplayer, Di kalangan penggemar, cosplayer juga disingkat sebagai layer.

Di Jepang, peserta cosplay bisa dijumpai dalam acara yang diadakan perkumpulan sesama penggemar (dōjin circle), seperti Comic Market, atau menghadiri konser dari grup musik yang bergenre visual kei. Penggemar cosplay termasuk cosplayer maupun bukan cosplayer sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, yaitu Amerika, RRC, Eropa, Filipina, maupun Indonesia
Sejarah

Sejak paruh kedua tahun 1960-an, penggemar cerita dan film fiksi ilmiah di Amerika Serikat sering mengadakan konvensi fiksi ilmiah. Peserta konvensi mengenakan kostum seperti yang yang dikenakan tokoh-tokoh film fiksi ilmiah seperti Star Trek. Budaya Amerika Serikat sejak dulu mengenal bentuk-bentuk pesta topeng (masquerade) seperti dalam perayaan Haloween dan Paskah.[1]

Tradisi penyelenggaraan konvensi fiksi ilmiah sampai ke Jepang pada dekade 1970-an dalam bentuk acara peragaan kostum (costume show).[2] Di Jepang, peragaan "cosplay" pertama kali dilangsungkan tahun 1978 di Ashinoko, Prefektur Kanagawa dalam bentuk pesta topeng konvensi fiksi ilmiah Nihon SF Taikai ke-17. Kritikus fiksi ilmiah Mari Kotani menghadiri konvensi dengan mengenakan kostum seperti tokoh dalam gambar sampul cerita A Fighting Man of Mars karya Edgar Rice Burroughs. Tidak hanya Mari Kotani menghadiri Nihon SF Taikai sambil ber-cosplay. Direktur perusahaan animasi Gainax, Yasuhiro Takeda memakai kostum tokoh Star Wars.[2]

Pada waktu itu, peserta konvensi menyangka Mari Kotani mengenakan kostum tokoh manga Triton of the Sea karya Osamu Tezuka. Kotani sendiri tidak berusaha keras membantahnya, sehingga media massa sering menulis kostum Triton of the Sea sebagai kostum cosplay pertama yang dikenakan di Jepang. Selanjutnya, kontes cosplay dijadikan acara tetap sejak Nihon SF Taikai ke-19 tahun 1980. Peserta mengenakan kostum Superman, Atom Boy, serta tokoh dalam Toki o Kakeru Shōjo dan film Virus.[3] Selain di Comic Market, acara cosplay menjadi semakin sering diadakan dalam acara pameran dōjinshi dan pertemuan penggemar fiksi ilmiah di Jepang.

Majalah anime di Jepang sedikit demi sedikit mulai memuat berita tentang acara cosplay di pameran dan penjualan terbitan dōjinshi. Liputan besar-besaran pertama kali dilakukan majalah Fanroad edisi perdana bulan Agustus 1980. Edisi tersebut memuat berita khusus tentang munculnya kelompok anak muda yang disebut "Tominoko-zoku" ber-cosplay di kawasan Harajuku dengan mengenakan kostum baju bergerak Gundam. Kelompok "Tominoko-zoku" dikabarkan muncul sebagai tandingan bagi Takenoko-zoku (kelompok anak muda berpakaian aneh yang waktu itu meramaikan kawasan Harajuku). Istilah "Tominoko-zoku" diambil dari nama sutradara film animasi Gundam, Yoshiyuki Tomino, dan sekaligus merupakan parodi dari istilah Takenoko-zoku. Foto peserta cosplay yang menari-nari sambil mengenakan kostum robot Gundam juga ikut dimuat. Walaupun sebenarnya artikel tentang Tominoko-zoku hanya dimaksudkan untuk mencari sensasi, artikel tersebut berhasil menjadikan "cosplay" sebagai istilah umum di kalangan penggemar anime.

Sebelum istilah cosplay digunakan oleh media massa elektronik, asisten penyiar Minky Yasu sudah sering melakukan cosplay. Kostum tokoh Minky Momo sering dikenakan Minky Yasu dalam acara temu darat mami no RADI-karu communication yang disiarkan antara lain oleh Radio Tōkai sejak tahun 1984. Selanjutnya, acara radio yang sama mulai mengadakan kontes cosplay. Dari tahun 1989 hingga 1995, di tv asahi ditayangkan ranking kostum cosplay yang sedang populer dalam acara Hanakin Data Land.

Sekitar tahun 1985, hobi cosplay semakin meluas di Jepang karena cosplay telah menjadi sesuatu hal yang mudah dilakukan. Pada waktu itu kebetulan tokoh Kapten Tsubasa sedang populer, dan hanya dengan kaus T-shirt pemain bola Kapten Tsubasa, orang sudah bisa "ber-cosplay". Kegiatan cosplay dikabarkan mulai menjadi kegiatan berkelompok sejak tahun 1986. Sejak itu pula mulai bermunculan fotografer amatir (disebut kamera-kozō) yang senang memotret kegiatan cosplay.

Cosplay di Indonesia

Cosplayer adalah orang yang mengenakan pakaian/kostum/cosplay. Kebanyakan costume yang digunakan dari Jepang. Di Indonesia sangat jarang ditemukan Cosplayer yang mengenakan pakaian dari komik luar asia, beberapa menggunakan tipe eropa tetapi dikarenakan di ambil dari manga/manwa bukan dari komik luar asia.

Pembagian cosplay

Secara umum cosplay dinilai sama. Tetapi tak langsung dalam beberapa event yang terjadi di Indonesia sering dilakukan pembagian/kategori cosplay[rujukan?]:

* Cosplay anime/manga. Cosplay yang berasal dari anime maupun manga. Biasanya manhwa termasuk didalamnya termasuk comic dari amerika.
* Cosplay Game. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter di Game.
* Cosplay Tokusatsu. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter di film tokusatsu.
* Cosplay Gothic. Cosplay yang berasal atau mengambil dari karakter bernuansa gelap atau Gothic. Biasanya digabung dengan Lolita.
* Cosplay Original. Cosplay yang benar-benar original tidak ada di anime, tokusatsu dan lainnya. Atau memiliki dasar yang sama seperti tokoh game Kingdom heart misalnya: Sora (Kingdom Heart) tetapi berbentuk metalic (modern)
* Harajuku Style. Beberapa cosplayer sering menduga Harajuku style adalah bagian dari cosplay. Beberapa Harajuku style muncul di manga/anime seperti Nana.


Sejarah cosplay di Indonesia

Pada awalnya cosplay tidak begitu banyak di kenal di Indonesia. Pada awal 2000-an, beberapa event seperti Gelar Jepang UI mengadakan Event Cosplay. Tetapi saat itu belum ada yang berminat, cosplay pertama saat itu hanyalah EO dari acara Gelar Jepang tersebut.

Beranjak dari Event Jepang, beberapa pemuda-pemudi (kebanyakan pemudi) di Bandung memperkenalkan gaya Harajuku dan hadirnya cosplayer pertama yang bukan merupakan EO saat itu. Berlanjut hingga sekarang, hampir tiap bulannya selalu ada event cosplay di Jakarta.

Beberapa grup Cosplay di indonesia seperti Infiniteam, The Endless Illution, Cosparty, ORC, AAC, MaCherie, Machipot, dan lainnya. Semakin lama semakin bertambah peminat cosplay di Indonesia.

Beberapa event yang sering hadir adalah:

* Gelar Jepang. Biasanya ada di Universitas. Umumnya di UI
* Bunkasai. Biasanya ada di Universitas.
* Hellofest.
* Animonster event. Beberapa event yang disponsori oleh animonster termasuk event cosplay di dalamnya.
* Extravaganza, Cosplayer berdialog kocak, cosplay kartun Nickelodeon dan anime Jepang dijadikan satu dalam Extravaganza di bagian cerita yang berjudul "Sasuke", Putri Salju muncul dibagian selanjutnya.

Template by:
Free Blog Templates